Ngaku deh, gak sedikit dari kita yang pernah dan bahkan mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Kehadiran teknologi AI nyatanya memang sangat membantu pekerjaan.
Meski demikian, teknologi AI dengan segala kemudahan dan kepraktisan yang diberikan, pada kenyataannya berdampak pada hilangnya beberapa pekerjaan yang lantas digantikan oleh teknologi AI, seperti analis dan strategi pemasaran yang sudah replace by digital marketing.
So sad but true!!
Lantas apakah kita berdiam diri dan mengutuk kehadiran teknologi AI? Oh tentu tidak!! Memang, kita dihadapkan pada tantangan bagaimana untuk tetap relevan dan efektif dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat.
That’s why, kita perlu beradaptasi dengan situasi dengan cara mengembangkan keterampilan yang relevan agar mampu bertahan, bersaing dan bersaing didunia kerja maupun pendidikan di era transformasi digital.
Salah satu keterampilan yang akan membuatmu mampu bertahan, beradaptasi dan sukses di era teknologi AI adalah kemampuan berpikir kritis. Lantas, seberapa penting memiliki kemampuan berpikir kritis di era teknologi AI? Yuk kita cari tahu jawabannya!!
Apa itu Berpikir Kritis? Berguru Pada Socrates, Pahlawan Filsuf yang Dibenci Rakyatnya
Healing while learning dulu yuk, masuk mesin waktu menuju abad ke-5 SM dan bertemu dengan Socrates, dimana konsep berpikir kritis muncul pertama kali pada masa akhir hidup Socrates.
Socrates, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah yang dikenal sebagai pemikir paling berpengaruh di dunia meski hidupnya penuh dengan ironi dan kontradiksi. Sebagai seorang filsuf, Socrates sangat dihormati oleh banyak kalangan karena kontribusinya terhadap filsafat Barat, sayangnya ia juga dibenci oleh rakyat Athena.
Metode mengajar Socrates yang dialektika atau metode sokratik, banyak mengajukan pertanyaan serta berdiskusi dengan orang - orang tentang berbagai isu moral, politik, dan kehidupan, membuat Socrates tidak disukai oleh masyarakat Athena.
Jangankan penduduk Athena, kita aja kadang emang malesin sih kalau udah disuruh kudu mikir soal politik lah, kebijakan ekonomi lah, falsafah hidup lah…..udah mumet duluan mikirin nyari cuan, wkwkwk.
Socrates adalah sosok filsuf yang slow dan kalem tapi juga seorang pendemo ulung dimana dia tidak segan-segan mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pemikiran dan kebijakan politik maupun ekonomi pemerintah dan tokoh penting di Athena. Ofkors, hal ini menambah nilai Ketidaksukaan mereka terhadap Socrates.
Masyarakat dan pemerintah Athena menilai kritikan Socrates terhadap kebijakan politik, agama dan tradisi agak mengancam keyakinan (dan kekuasaan) mereka.
Pada akhirnya, kebencian terhadap Socrates mencapai klimaksnya ketika ia dituntut oleh pemerintah Athena pada tahun 399 SM dan dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan merusak moral dan menghina para dewa.
Sedih dong? Ofkors gak! Socrates bukanlah filsuf dengan pemikiran dangkal dan kebijaksanaan setipis tisu. Emang kita emak-emak yang denger anaknya berantem dengan anak tetangga auto keder, wkwkwk.
Oflors, Socrates trying to defend himself dengan logika dan argumen yang tajam, dia menjadi pengacara untuk dirinya sendiri. Maklumlah, Hotman Paris kan belum lahir saat itu.
Too bad, masyarakat dan pemerintah Athena yang kadung dipengaruhi ketakutan dan kebencian terhadapnya, menutup mata dan logika terhadap argumen Socrates dan menjatuhi hukuman mati. Socrates, dengan pilihan bijaknya menerima eksekusi tersebut dengan kepala tegak.
Apa Yang Bisa Dipelajari Dari Kematian Tragis Dan Ironi Socrates?
Oleh Jacques-Louis David - https://www.metmuseum.org/collection/the-collection-online/search/436105, Domain Publik, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=28552 |
Katanya kemampuan berpikir kritis bisa menyelamatkan masa depan? Kok Socrates mati karena “terlalu kritis?
Gak gitu juga konsepnya!!
Dikutip dari tulisan karya Mogobe Ramose, Jurusan Filsafat dan Studi Agama, Unisa menyatakan bahwa,
Salah satu pelajaran dasar dari pernyataan Socrates dalam Apology adalah bahwa ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak boleh dikorbankan demi kompromi.
Pada akhirnya, Socrates memilih untuk menerima hukuman mati karena ia berpendapat bahwa dengan menolak hukumannya dan mencoba melarikan diri dari penjara, ia akan melakukan tindakan yang tidak adil dan tidak dapat dibenarkan secara moral serta bertentangan dengan prinsip dan komitmen pemikirannya.
Nyatanya, Socrates adalah pahlawan yang rela mengorbankan dirinya demi filsafah hidup yang akan diteruskan ke generasi penerus selanjutnya.
Meski keputusan Socrates sungguh irasional mengingat tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia bersalah. Bahkan, Miroslav Ivanovic Institute for Criminological and Sociological Research berpendapat bahwa, Argumen Socrates keliru, yang membuat keputusannya kurang rasional.
Namun yang kita garis bawahi disini bukan keputusan akhir yang dibuat Socrates, melainkan proses pemikiran yang panjang dengan argumen dan opini yang dibuat Socrates terkait pilihannya menerima hukuman mati.
Bukankah Socrates mampu melawan? Memberikan pembelaan dan sejenisnya? Asumsi saya menyatakan bahwa Socrates ingin memberi contoh nyata ketidakadilan hukum dan cacat politik dan mempertahankan critical thinking yang dimilikinya.
Melalui tragedi kematiannya dan bersikukuh dengan keyakinannya, Socrates mengajarkan kita pentingnya berpikir kritis dan keberanian untuk mempertanyakan segala hal, bahkan hal-hal yang sudah dianggap benar oleh kebanyakan orang.
Alasan Mengapa Kemampuan Berpikir Kritis Jadi Kunci Sukses di Era AI
Di era digital dengan AI sebagai The King, memiliki kemampuan kritis tetap menjadi senjata utama menghadapi tantangan zaman. Mengapa? Ini jawabannya!!!
1. AI Gak Bisa Berpikir Out Of The Box
AI memang canggih, dia mampu melakukan tugas yang sangat terstruktur, detail dan jelas, bahkan AI mampu menulis artikel sederhana. Namun, kemampuan AI untuk berpikir kreatif atau "di luar kotak" sangat terbatas. Maka gak heran jika artikel atau narasi yang dibuat AI terasa hambar dan tanpa jiwa.
Dengan kemampuan berpikir kritis, kamu bisa berkarya atau melihat masalah dari berbagai sudut pandang, menyusun solusi yang tidak hanya berdasarkan data, tetapi juga berdasarkan intuisi, pengalaman, emosi, dan konteks sosial dimana aspek - aspek tersebut masih sulit dipahami oleh AI.
2. Keterampilan Berpikir Kritis Membantu Menghindari Bias AI
Dikutip dari techtarget.com, Bias AI merupakan anomali dalam keluaran algoritma pembelajaran mesin, yang disebabkan oleh asumsi bias yang dibuat selama proses pengembangan algoritma atau prasangka dalam data pelatihan.
Misalnya, sebuah sistem AI yang digunakan untuk merekrut karyawan dapat menciptakan ketidakadilan jika data pelamar yang digunakan sebelumnya mengandung bias rasial atau gender.
Kemampuan berpikir kritis dapat membantu memastikan apakah teknologi yang digunakan tetap adil, objektif, dan tidak diskriminatif. Berpikir kritis membantu kita mengidentifikasi dan memitigasi bias, menjaga keputusan yang diambil tetap adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
3. AI Gak Bisa Menggantikan Orisinalitas Kreativitas Manusia
Maraknya NFT dua tahun silam, menyebabkan penggunaan AI ilustrasi yang digunakan oleh ilustrator jadi-jadian. FOMO, menyebabkan banyak orang untuk menjadi ilustrator jadi-jadian, membuat prompt dan membiarkan AI membuat karya untuk mereka.
Mereka rela menanggalkan kreativitas demi karya yang seakan orisinil padahal tidak. Hasilnya memang menakjubkan, bahkan saya insecure. Namun jika di analisa, hasil ilustrasi AI terasa hampa dan terdapat proporsi yang tidak seimbang. Disinilah kekurangan AI terkait kreativitas.
Meskipun AI dapat menganalisis data dalam jumlah besar dan memberikan rekomendasi berdasarkan algoritma, ia tidak memiliki kapasitas untuk berkreasi seperti manusia.
Contoh sederhana deh, seorang mahasiswa mengerjakan tugas kuliah menggunakan ChatGPT (bukan kamu ya, jangan baper).
Menggunakan ChatGPT memang Lebih praktis, mudah dan cepat. Bahkan ChatGPT mampu memberikan narasi dan diksi yang terlihat seakan profesional, padahal tidak. Jika kita “rajin” membaca ulang artikel buatan ChatGPT akan terasa agak hambar, tanpa jiwa dan kerancuan penyusunan kata dalam kalimat.
Oke fine, tugas kuliah kelar dan kemungkinan besar kamu akan mendapat nilai A, tapi tidak dengan kemampuanmu menyelesaikan tugas, berpikir dan mencari solusi permasalahan. Kamu sudah kehilangan kemampuan itu berkat ChatGPT.
Kecuali, kamu gunakan ChatGPT sebagai umpan balik atau mencari ide. Kamu bisa mengkombinasikan ide dari mba - mba atau akang-akang ChatGPT dengan storytelling, narasi dan pilihan diksi buatanmu sendiri.
Memang boleh? Ofkors, Tulisan hasil kerjasama AI dan manusia disebut Konten hibrida akan menjadi salah satu tren sosmed 2025 (blog.gainapp.com)
Kemampuan berpikir kritis membantu kita mampu mengevaluasi berbagai kemungkinan dan menghasilkan ide-ide inovatif yang sering kali melibatkan imajinasi dan pemikiran out of the box, hal ini penting dalam membuat karya, mengerjakan tugas, menyelesaikan masalah terlebih di dunia kerja.
4. Berpikir Kritis, Membantu Kamu Menyaring Informasi
Deepfake, adalah salah satu fenomena AI yang marak terjadi. Awalnya percaya saking miripnya penampakan hasil AI dengan the real one, tapi jika kritis kita bisa melihat bahwa……ah ini mah bikinan AI. Seperti kasus pidato Jokowi pidato menggunakan bahasa mandarin.
Saya pun termasuk yang termakan hoax ketika salah satu teman suami memperlihatkan deepfake Elon Musk memperkenalkan UTBBYS sebagai band post rock Indonesia. Bangga dong sekelas Elon Musk tahu band post rock Indonesia.
Tapi ternyata itu deepfake guys! Gak hanya satu-dua kasus, deepfake marak digunakan sebagai media penipuan dan itu beneran terjadi. Gak hanya deepfake, AI juga digunakan oleh orang tidak bertanggung jawab untuk membuat narasi keliru dan hoax.
Makanya, penting banget untuk memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menyaring dan mengevaluasi informasi dengan cermat.
5. Menghindari Ketergantungan Pada Teknologi
Iya sih, AI bantu banget kita menyelesaikan pekerjaan mulai dari mencari ide, membuat narasi, brainstorming, mencari ide, mengedit suara dan video, menganalisa dan lain sebagainya.
Tapi, kalau kita sudah segitu ketergantungannya dengan persembahan teknologi AI, kita gak bisa lagi menjadi orang yang original, gak kreatif apalagi inovatif. Tumpul sudah kreativitas karena mengandalkan AI untuk bekerja dan berkarya.
Kesimpulan
Jadi, apa itu kemampuan berpikir kritis? Barry K. Beyer (1995), menyatakan bahwa berpikir kritis adalah membuat penilaian yang jelas dan beralasan logis atau rasional.
Bapak berpikir kritis Socrates mengajarkan bahwa pemahaman sejati datang dari kemampuan untuk terus-menerus mempertanyakan dan mengkritisi apa yang kita ketahui.
Hal ini tentu menjadi pelajaran yang sangat relevan dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi digital dan AI.
Kita harus selalu ingat bahwa secanggih-canggihnya AI tetap gak bisa menggantikan kebutuhan kita sebagai manusia untuk berpikir secara inovatif, kreatif, etis, kritis, dan reflektif.
Dengan memiliki kemampuan berpikir kritis, kita dapat memanfaatkan kekuatan AI tanpa kehilangan sentuhan manusiawi yang membuat kita menjadi unik. Berpikir kritis memungkinkan kita untuk berinovasi, membuat keputusan yang lebih baik, dan tetap beradaptasi dengan cepat di dunia yang terus berubah.
Jadilah manusia hibrida yang orisinil, jangan skeptis terhadap teknologi AI apalagi denial dan menghindar karena pada realitanya, kita hidup di dunia modern, bukan jaman megalitikum.
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Berpikir_kritis
https://www.criticalthinking.org/pages/defining-critical-thinking/766
https://www.dicoding.com/blog/6-cara-untuk-meningkatkan-kemampuan-berpikir-kritis/
https://asana.com/id/resources/critical-thinking-skills
https://www.halodoc.com/artikel/begini-5-cara-mudah-melatih-diri-untuk-berpikir-kritis?srsltid=AfmBOopc2elB1I_X7FnnLzxBOLcUGvAgCTEMJodzeemXvRIqy_xHM5IY
https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/3-hal-yang-perlu-diketahui-tentang-berpikir-kritis
https://research-aimultiple-com.translate.goog/ai-bias/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true
Posting Komentar
Posting Komentar