Sebagai generasi milenial, saya agak tergelitik untuk mejawab keresahan generasi z terkait isu kesehatan mental, dan ini adalah pesan saya untuk kalian generasi Z.
Saya termasuk generasi milenial yang menolak tua serta enggan disebut “Bu” ketika bayar belanjaan di Indomaret 😂. Saya juga masih senang bicara dengan bahasa gaul dalam circle pertemanan.
Ketika Saya Muda
Saya generasi tua yang masih suka dunia anak muda. Masih suka nge-gigs dan nonton film terupdate. Saya juga masih suka dengerin lagu - lagu terkini. Nampaknya saya adalah anak muda yang terperangkap dalam tubuh wanita hampir paruh baya berusia 39 tahun. Apa ini disebut masa peralihan dewasa tua dari dewasa muda? maybe, hihihi 😅
Yang pasti saya dan pasangan samaan, sama - sama menolak tua. Masih suka nge-gigs, nge-band dan berpakaian ketika kami masih muda. Celana jeans pinsil dan kaos band, sepatu converse atau vans dan jaket parka. Beda nya saya dengan pasangan adalah dia makin gaya makin gak keliatan tua nya. Orang malah nyangka dia masih usia 27an.
Lhaaa saya, udah mah badan ndut tambun mirip melon jadi mau penampilan layaknya anak muda, tetep aja terdeteksi dari bentuk tubuh dan keriput khas ibu - ibu kalo saya emang udah jadi ibu-ibu! wkwk 😁. Jadi yaaa terima aja lah meski dalam hati seringnya berontak, hahaha.
Tapi bicara soal menjadi muda, saya pernah muda dan ada di usia generasi Z dua puluh tahun yang lalu. Saya juga pernah berada dalam fase overthingking, galau dan quarter life crisis. Bedanya, generasi saya dulu gak mengenal istilah ISU KESEHATAN MENTAL dan gak ngeh dengan istilah - istilah yang banyak digunakan oleh generasi Z kini terkait hal ini.
Ketika saya galau mau kuliah dimana lepas lulus SMA? ya jalani aja dan manut apa kata papih-mamih yang jelas - jelas bayarin kuliah meski saya kepengen kuliah seni atau desain. Saya gak bisa nolak dan energi kegalauan ini saya pake buat bersyukur karena masih bisa kuliah.
Waktu saya dulu pernah ngerasa gak punya tempat di dunia ini dan enggan ketemu orang? Ya saya diem aja dirumah melakukan hal - hal yang emang saya suka. Saya gak kenal istilah introvert, mental health apalagi self healing.
Tapi saya penikmat dan pencari senja waktu dulu, sama seperti kalian yang bangga sebagai generasi senja. Masa kami dengan si senja udah usai, hehehe.
Quarter life crisis? Saya juga ngalamin.
Apalagi lepas lulus kuliah terus ribuan surat lamaran kerja ntah nyangkut dimana dan gak pernah dapat jawaban. Galau mau ngapain, apa yang pengen dilakukan dan apa impian saya pernah mengisi hari-hari di usia kisaran 25 tahunan.
Semua terjawab dengan seiringannya waktu dan proses dimana akhirnya saya keterima kerja oleh perusahaan diluar ekspektasi. Tapi saya belajar untuk bisa survive sendiri dan akhirnya menemukan jalan impian.
Saya menjalani keresahan masa muda dengan menjalani nya aja dengan normal sebagaimana orangtua kami menjalaninya dulu. Gak sedikit kami juga mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan keresahan ini dan depresi.
Mau minta tolong gak tahu harus ke siapa, kemana? masa ke psikolog? ntar disangka orang gila. Ya gitu deh stigma orang yang dateng ke psikolog ketika generasi saya muda dulu. Kalian generasi Z jauh beruntung jika dibandingkan kami kalau udah ngomongin soal isu kesehatan mental.
POV : Generation Z Today
Maka dari itu, sebagai generasi yang pernah muda saya melihat generasi Z kini lebay dan lemah mental.
Alasannya? selama dua tahun ini saya melihat ramainya konten sosial media bertema kesehatan mental. Banyak banget generasi Z yang mengeluh atas nama overthinking dan kesehatan mental.
For example, Gagal ujian auto bikin status “butuh self healing, mental health saya terganggu”
Another example, tetangga saya usia 23an nyerah dan milih mengundurkan diri dari kerja yang a little bit overwork padahal gaji UMR Bandung, which is itu gak kecil ya…… hadeeuuhhhh. What’s wrong with you guys? come on. Jangan berlindung dibalik kesehatan mental lantas memvalidasi tindakan untuk nyerah gitu aja dong guys! Somehow mental kalian emang harus di asah biar setrong you know.
Lain hal nya kalau kalian udah mencoba over and over again then masih tetep failed atau gak sesuai ekspektasi, ya udah leave it dan kejar apa yang kalian impikan dan inginkan. Bukan belum apa - apa udah nyerah, belum apa-apa bikin status dan ngeluh, bilang overthingking - kesehatan mental terganggu terus butuh self healing.
Sorry saya berapi-api, wkwkwk. Saya ngerti kok apa yang sedang kalian alami. Sorry saya sok dewasa hanya karena usia lebih tua dan pernah muda lebih dulu dari kalian. Itu karena saya sebagai generasi pendahulu sangat peduli dengan kalian. Ditangan kalian lah masa depan negara ini berada termasuk anak - anak saya yang sekarang masih anak SD dan TK.
Honetsly, saya iri dengan keterbukaan kalian sebagai generasi Z terhadap isu kesehatan mental jika dibandingkan masa - masa muda angkatan saya dulu. Karena kesehatan mental emang penting. Tapi bukan gangguan kesehatan mental hanya karena cape lagi ujian atau yang dikit-dikit ngeluh di sosmed padahal its not a big things. Something that you can solved by yourself without making the whole world know.
Yang saya garis bawahi adalah kesehatan mental terkait quarter life crisis, toxic person, Toxic family, toxic parent, perceraian orangtua, abuse, inner child, patriarki….yah isu- isu yang emang sebetulnya ini bukan isu baru melainkan isu lama yang gak pernah di bahas sama sekali sejak jaman muda generasi saya dulu karena terlalu sensitif.
Saya juga merasakan manfaat dari boomingnya isu kesehatan mental berkat kalian. Somehow my inner child juga terselesaikan karena informasi dan support yang saya terima di sosial media melalui komunitas. Saya juga ngerasa terwakilkan dimana isu kesehatan mental yang sejak dulu saya pendam dan gak pernah dibahas sama sekali, sekarang mulai dilirik dan banyak pihak yang peduli. Semua berkat keberanian kalian untuk speak up and ask for help.
Kalian dengan gagah berani menyatakan “saya sakit mental” atau bikin konten terkait hal ini, baik di musik, lagu hingga film. Meme juga gak luput dari konten kesehatan mental. Ini hal yang bagus, dengan demikian mereka yang punya masalah yang sama gak merasa sendirian dan disupport.
Saat dulu saya sedang jatuh terus orang sekitar saya malah ceramahin soal hidup harus bla bla and bla, which is ini bukan hal yang dibutuhkan oleh mereka yang lagi down. Melainkan pelukan dan dukungan, bukan ceramah.
Generasi kalian beda. Ketika rekan atau kenalan hingga teman dekat kalian lagi down, dengan kerendahan hati kalian bilang, “ it’s okat not to be okay. kalau mau istirahat, nangis dan berhenti ya gak apa-apa. valid kok” dan saya sebagai ex-depression ngerasa di dukung juga dengan keterbukaan ini. Jadi pelajaran juga buat sayamendidik anak-anak saya terkait perkembangan emosi dan psikologis mereka.
Saya secara pribadi malah salut dan bangga dengan generasi Z yang mulai peduli terhadap lingkungan dan lifestyle minimalis. Jaman saya dulu isu ini gak se-booming sekarang dimana banyak pemuda dan pemudi generasi Z yang emang beneran care akan hal ini dan melakukan aksi.
Bukan hanya itu, kalian generasi Z juga mulai peduli terhadap isu rasis dan kesetaraan gender dimana isu ini di jaman saya dulu merupakan isu yang terlalu sensitif hingga haram hukumnya untuk dibahas. Padahal gak sedikit korban yang lahir akibat terpendamnya isu ini.
Saya percaya, kalian generasi Z punya periode hidup yang sama pentingnya dengan kami dan melalui proses yang sama.
Yang membedakan hanya kemajuan teknologi di jaman kalian jauh lebih pesat jika dibandingkan generasi kami dimana kalian akan menerima arus informasi hingga tak terbendung. Semua ini karena kalian emang lahir dan tumbuh beriringan dengan kemajuan teknologi.
Positifnya, kalian sebagai generasi Z memiliki karakter gemar teknologi, lebih unggul, lebih fleksibel, lebih cerdas, toleran pada perbedaandan, open minded bahkan kalian lebih melek finansial dibandingkan generasi saya waktu seumur kalian dulu.
Tetapi dengan segala keunggulan generasi kalian jika dibandingkan generasi saya, kalian juga punya kelemahan. Kelemahan ini lah yang menjadi pencetus munculnya keresahan generasi Z.
Kelemahan generasi kalian adalah, kalian menyukai budaya instan serta kurang peka terhadap ranah privasi.
Layanan instan yang diberikan oleh kemajuan teknologi seakan tidak memberikan kalian waktu sejenak untuk bernafas. kalian berpacu dengan persaingan tanpa batas sehingga menyebabkan kalian mudah merasa cemas, insecure hingga batas tertentu kalian sangat menghambakan pengakuan diri. Jumlah like lebih penting dari kualitas konten, demi konten kalian rela melakukan apapun bahkan yang membahayakan nyawa dan privasi orang lain.
Karena ingin serba instan dan cepat inilah, kalian jadi kurang menghargai bahkan gak mau melalui yang namanya BERPROSES.
Akibatnya, dimana kalian berbenturan dengan yang namanya hambatan, kalian give up just like that atau sebaliknya, rela melakuan hal diluar nalar. Kalian pun jadi lebih rentan terhadap kecemasan karena budaya ingin serba instan ini. Makanya, dikit - dikit overthingking, dikit-dikit ngerasa cemas terus always hiding behind kesehatan mental and need self healing.
Come on guys! mau berproses dong! Tahu bulat aja di proses dulu sebelum akhirnya jadi tahu bulat digoreng dadakan kan? ya kalian juga.
I knew that pesatnya kemajuan teknolgi dan internet serta hadirnya Sosial media memberikan kalian layanan instan untuk apapun yang ingin kalian lakukan. Dunia seakan berputar sangat cepat dan tanpa jeda.
Meski demikian, apa yang kalian alami di masa perkembangan kalian ya sama aja dengan apa yang udah generasi saya alami. Kalian juga mengalami insecure dalam pertemanan dan karir, merasa gak pede dengan diri sendiri karena melihat orang lain lebih unggul, merasa hilang arah lepas sekolah dan lulus kuliah, jenuh dengan pekerjaan yang monoton sampai urusan nyari jodoh.
Gak ada bedanya guys.
Manfaatkanlah keberadaan sosial media dengan bijak termasuk sharing informasi yang sifatnya sangat pribadi. Buatlah konten yang emang positif, berbobot dan bermanfaat. Sesekali lakukan detox sosial media dan pilih circle pertemanan yang positif serta kondusif. Pilih circle yang gak bakalan menjerumuskan kalian pada lifestyle hedon dan bersaing gak sehat. Apalagi yang gak mendukug kalian
Anyway, in my opinion Baik generasi milenial ataupun generasi Z kita bersama melangkan beriringan saling adaptasi diatas pesatnya perkembangan teknologi internet dan arus informasi yang serba cepat. Kalian lebih inovatif dan beraktivitas super cepat sementara generasi saya jadi rem dan rambu-rambu agar kecepatan kalian terkendali dan gak bablas. Jadi inget quote di drakor start up kan? wkwkwkwk. Yess emang kaya gitu!
Pesan terpenting yang ingin saya sampaikan adalah, tumbuh menjadi dewasa adalah takdir tetapi menjadi bijak merupakan sebuah pilihan. jalani dan lalui setiap proses yang kalian alami dalam hidup kalian. Nikmati dan ambil pelajaran dari setiap proses itu. Jadikan setiap masalah dan kegagalan sebagai pijakan bagi kalian untuk mengasah mental, skill dan pengetahuan kalian demi meraih impian kalian.
Well said kak! Saya jugg digenerasi yg sama dg pokok pikiran yg mirip2 hehehehe
BalasHapusthank youu mba indy, semoga unek-unek ku ini bisa mewakili pemikiran sama dari generasi milenial
HapusHihi, aku jadi pengen nulis kaya gini yang versiku. hihh! uneg2 nya samaan sih. apalagi isu kesehatan mental sekarang kaya yang dijadiin tren gitu. dikit2 ngakunya kena mental illness. ya gitu deh, gara2 kemudahan teknologi (yang terlalu mudah), jadi agak ngga mau idup agak susah.
BalasHapusyoook kak bikin artikelnya dari sudut pandang yang berbeda, saya juga ingin tahu nih pendapat gen milenial lain terkait isu kesehatan mental yang banyak digembar gembor belakangan ini
Hapusgenerasi jaman sekarang memang sepertinya kebanyakan istilah mental health blablabla tapi memang kita tahu mereka dihantam oleh pandemi dan gabisa disalahin juga emang lagi beranjak dewasa juga.. saya sendiri sebagai generasi milenial juga masih merasa belum dewasa sepenuhnya dan masih banyak belajar. yuk sama-sama belajar gak gampang nyerah dan terus jalanin aja. semangat semuanyaaa
BalasHapussukaaa banget dengan sudut pandang kakak ini. iyess kakak, kecagihan teknologi emang disisi lain ngasih dampak negatif juga. gak hanya gen z sih tapi gen milenial juga
HapusSaya merasa generasi kita di usia yang sama tingkat kedewasaannya jauh lebih matang. Dilema juga, teknologi banyak memberikan kemudahan tapi di satu sisi juga ada negatifnya. Mari sama-sama untuk bertumbuh.
BalasHapusiyess mba, saya setuju banget. meski kita jadi generasi pendahulu tapi yang namanya bertumbuh dan dewasa yang masih berproses juga
Hapusgen X kalau menilai generasi di bawahnya (Y/milenial/Z) semua lebih memble dibanding gen X. gen Y/milenial menilai gen Z lebih memble dari mereka. bisa diduga ntar nih gen Z bakal nganggep generasi di bawahnya juga lebih memble.
BalasHapuswajar sih mba, karena generasi pendahulu sudah lebih dulu mengalami fase yang dialami generasi setelahnya. meniliai, menganlisis lalu mengkritik jadi hal yang wajar dilakukan. tetapi bukan mengkritik tanpa solusi ya mba. ada sudut pandang kenapa gen z dinilai lebih memble dari gen milenial dan di artikel ini saya memberikan solusi juga yang diharapkan jadi pencerahan untuk gen z untuk jadi generasi lebih baik
HapusGenerasi millenial emang buwwoleeehh nih. Kecheee badday tulisannya
BalasHapusSiap mbak, aku bakal menjalaninya penuh dg kesadaran. Melatih diri untuk terus menikmati proses dan terus belajar bersyukur.Adakalanya kami dikritik memang, biar tak keenakan untuk menikmati budaya instan
BalasHapusNgomong-ngomong generasi saat ini lemah mental memang benar adanya, dan itu juga ga lepas dari peran orang tua. Utamanya peran ayah dalam mendidik ego anak, tanggung jawan, kemandirian, dll.
BalasHapus