Bertahan Dalam Mengalami Kehilangan

Posting Komentar
bertahan dalam kehilangan




Seorang Bapak paruh baya duduk berjongkok sambil menatap kosong seraya menghela nafas. Malam memang mencekam, dingin dan lembab tapi tatapan Bapak lebih dingin dan mencekam dari suasana malam itu.

Saya tahu alasannya, barang dagangan alat dapur tradisional bambu yang dia bawa masih menumpuk di sebelah kanannya. Sontak saya terenyuh dan merasa sedih.

Seketika saya bisa membaca kerisauan dan resah si Bapak paruh baya,

“ Bagaimana saya pulang malam ini? saya tidak membawa uang yang cukup untuk makan keluarga besok”

Saya jadi ingat, betapa mahalnya harga bahan pokok belakangan ini. Jangan tanya soal harga minyak, harga tahu satu bungkus saja mencapai 6 ribu rupiah. Padahal biasanya hanya 3 ribu saja. Jangan tanya soal harga telur yang sudah sebulan ini tidak beranjak dari 30 ribu per kilo, harga tempe potongan kecil saja mencapai 4 ribu rupiah.

Saya hanya membayangkan, mereka yang berpenghasilan dibawah 50 ribu per hari bagaimana bisa bertahan hidup? wajar jika mereka kesusahan dan kehilangan harapan.

Saya jadi ingat Ibu saya, yang selalu menunggu kedatangan saya dan mendoakan kesuksesan saya agar kami sekeluarga mapan. Ibu yang sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya tapi masih mampu bertahan dalam mengalami kehilangan meski saya tahu kini di usia senja nya merasa kelelahan dan kesepian.
Malam itu saya menyadari satu hal, setiap orang bergelut dan berperang dengan kondisi masing - masing. Sama - sama berjuang meski kadang merasa kehilangan harapan hingga terasa mati rasa. 

Bertahan ketika Kehilangan Anak dan Jati Diri


Lalu saya mendapat kabar hari ini akhirnya jasad AA Eril ditemukan. Diantara rasa syukur dan sedih teramat sangat, saya bisa merasakan rasa kehilangan yang cukup berat yang dirasakan oleh Kang Ridwan Kamil. Bagaimana tidak, kesedihan terbesar bagi orang tua adalah ditinggal lebih dulu oleh anak mereka.

Meski hanya sekadar khayalan karena panik saat anak - anak saya bermain entah kemana dan saya sulit menemukan mereka, membayangkan mereka hilang tanpa jejak karena diculik atau terbunuh karena tertabrak mobil dijalan cukup membuat saya menangis sambil berjalan rusuh mencari mereka kesana - kemari. Apalagi Kang Ridwan Kamil yang benar-benar merasakan kehilangan itu. 

Saya gak bisa membayangkan kesedihan dan rasa kehilangan yang dirasakan Kang Ridwan Kamil, hanya bisa mendoakan untuk ketegaran keluarga yang ditinggal dan AA Eril diterima di sisi Allah SWT.

Hal ini membuat saya kembali istighfar karena pernah berfikiran jahat terhadap anak - anak karena depresi yang saya alami yaitu  postpartum depression dimana saya berharap anak-anak saya menghilang begitu saja. Puff hilang, sehingga saya bisa istirahat sebentar saja dan menjadi diri saya sendiri lagi.  

Tapi saya buru - buru istighfar sambil mengusap wajah ketika angan "nakal" itu mulai menggoda iman. Untunglah itu hanya sekedar angan karena over exhausted mengurus Keenan yang masih Batita sementara Kilan masih bayi usia 1 bulan. 

Jangan salah, banyak ibu yang mengalami baby blues merasa kehilangan jati diri nya. Kasus ringannya seperti saya, postpartum depression. Kasus terberatnya menjadi Postnatal Depression seperti banyak kasus dimana ibu bunuh diri bahkan beneran membunuh anak mereka sendiri.

Intinya banyak ibu yang mengalami kehilangan jati diri hingga gak mengenal dirinya sendiri. Seperti diri hilang entah kemana. Saya rasa ini karena proses peralihan peran. Dari yang awalnya single menjadi seorang ibu dengan tanggung jawab besar terhadap hidup seorang manusia. Terlebih mengurus bayi gak ternyata gak semudah itu. Gak semulus di film - film. Nyatanya emang menyita waktu 24 jam 7 hari kita. Wajar kalau jadi merasa gak punya waktu buat diri sendiri dan somehow ngerasa kehilangan jati diri.

Soal ini rumit sih, banyak faktor penyebabnya. Kalau seorang ibu gak kuat - kuat iman dan keyakinan, pikiran bakal nge-blank dan buta akan hal lain. Apalagi kalau gak punya support system atau inner circle yang positif. Untuk kasus saya, untung saya ketemu dunia blog dan masih bisa komunikasi dengan suami. Kasus lain? You know lah, beritanya mengerikan.

Anyway, bicara soal kehilangan memang kompleks. Tapi itulah hidup, soal kehilangan dan menerima apa yang hilang lalu hidup dengan itu. Seperti endless loop. Kita perlu bertahan dalam mengalami kehilangan agar diri tidak sepenuhnya hilang dan terjerembab dalam lembah depresi. 

Saya ingin berbagi tentang kehilangan yang pernah saya alami.


Kehilangan terberat pertama  dalam hidup saya adalah kehilangan sosok orang tua ketika mereka bercerai. Duh artjoka apa gak bosen ngomongin terus perceraian orang tua? yah gak lah marisol.

Kalau dulu saya membicarakan hal ini sembari ramisak dan cirambay ( nangis tersedu - sedu) karena masih trauma, sekarang sih udah 90% biasa aja dan menerima perceraian mereka sebagai bagian dari cerita hidup saya. Ya emang udah gitu aja cerita hidup saya, mau gimana lagi? toh proses penerimaannya sudah saya lalui meski butuh 20 tahun lebih.

Suami saya pernah bilang begini waktu ayah mertua meninggal tahun lalu,

“ Ndaa masih harus bersyukur, ayah masih ada. Aku mah udah gak bisa ketemu Bapak lagi “

Iya sih, tapi beda kasus Pak. Meski raga ayah saya masih ada, tapi sosok ayah udah gak bisa saya rasakan lagi. Saya bahkan lupa bagaimana rasanya punya ayah. Rasa kehilangan sosok ayah lebih berat dari kehilangan ayah karena meninggal. Setidaknya suami punya kenangan manis bersama Bapak dan tidak kehilangan sosok seorang Bapak. Lah saya? usia udah mau 40 tahun masih aja merasakan kehilangan sosok itu.

Perceraian orang tua apalagi proses cerainya banyak drama, udah pasti meninggalkan banyak fase merasa kehilangan berjilid - jilid. Mulai dari kehilangan sosok orang tua, kehilangan pegangan, kehilangan jati diri, kehilangan harapan masa depan hingga keimanan. Truly? sampai kehilangan keimanan? yess fernando.

Saya pernah ada di fase ini sekitar tahun ke empat setelah mereka bercerai. Fase dimana saya kehilangan keyakinan akan hidup, hilang harapan dan marah sampai saya menanggalkan kerudung. Sempat atheis? gak sih, hanya lebih ke marah aja. Kenapa sih Tuhan? kenapa sih harus aku? yaa kayak gitu - gitu deh. 

Lalu sampai kapan saya marah? Gak lama sih, fase depresi terburuk ini saya alami beberapa bulan. Saya lupa kapan tepatnya, yang pasti waktu itu tiba - tiba saya ngerasa capek aja ngerasa marah terus mulai self healing. Dalam proses self healing ini lah saya menyadari bahwa, marah sama Tuhan gak ngaruh sama hidup saya. Dengan marah hidup saya yang terasa pincang dan cacat ini ya bakalan gini-gini aja malah bakal terasa lebih parah dan mati rasa. 

Media self healing saya udah tentu menggambar, menulis, jalan - jalan sendirian, merenung, menatap senja dan curhat dengan sahabat saya. Jadi wahai kalian pecinta senja jaman now, sini sun tangan dulu sama saya yang udah dari tahun 90an jadi pengagum senja sampai sekarang, wehehee.  

Prosesnya self healing ini agak lama, hampir setahun lebih. Self healing ini ditutup dengan bertaubat nasuha dan kembali mengenakankerudung. 

Kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Marah sama Tuhan terus capek terus balikan lagi, astaga!! Hehe. Tapi yaaa itu lah proses dalam mengalami kehilangan dan menerimanya jadi bagian hidup yang gak bisa dipisahkan. Udah satu paket dari sonoNya. 
Anyway, enough tentang orang tua saya, kasus closed 🤭. Next kehilangan kedua, kehilangan impian jadi arsitek lanskap. Iihh ini basi banget ya. Cerita yang sama di ulang lagi!! Wkwkwk. Tapi emang ini jadi reminder aja sih, meski kehilangan cita - cita karena ini dan itu ya gak jadi sia - sia. Karena masih bisa menjalani impian lain dan bisa dikatakan berhasil lah di impian lain itu. Jadi blogger dan ilustrator dong tentu nyah 😂

Ini bagian sedihnya mana sih? Ya sedih lahh Pak - Bu, mo  gak sedih gimana coba,  kuliah tinggal satu kali sidang aja  dan lagi semangat menyongsong karir masa depan menjadi arsitek lanskap. Tapi karena  tersandung soal finansial setelah melahirkan Keenan yang " istimewa"…. Hilang tuh harapan jadi arsitek lanskap. Ini sedih banget buat saya. But life must go on bukan? Saya tetap bertahan dalam mengalami kehilangan menggapai impian sambil tetep ngejalanin hobi menulis dan menggambar. Biar gak stress amat, hehe. eh kan malah jadi profesi tetap sekarang, ahiiww. 

Next, kehilangan ketiga yaitu saat tubuh saya harus kehilangan kantung empedu tahun lalu. Wah ini sih bener - bener kehilangan yang selama prosesnya bikin saya pasrah aja sama urusan kematian. Jadi ingat dulu saya pernah hampir atheis karena marah sama Tuhan terus gak takut mati bahkan pengennya mati aja. Eh dikasih beneran sama Tuhan fase mendekati kematian malah jadi takut.
Karena situasinya beda kawan. Kalau dulu saya belum punya suami yang handai taulan, juga belum punya anak - anak se- cute Keenan dan Kilan, dulu saya nothing to lose. Mati ya mati aja, gak rugi.

Sekarang pikirannya udah macem - macem. Kalau saya mati suami saya gimana? Anak - anak siapa yang ngurus? Gimana masa depan mereka? Kalau saya mati nanti gimana? Takut azab kubur dan takut masuk neraka!!

Agak lucu tapi it really happen. Rasa takut akan kehilangan hidup ternyata saya alami juga. Apalagi proses kesembuhan saya panjang sampai hampir 4 tahun. Sebelum operasi mencoba berobat kesana kemari. Mulai dari pengobatan tradisional sederhana sampai yang ghaib hingga akhirnya ya emang harus operasi. Itu udah jawaban final gak bisa diganggu gugat.

Selama proses itulah saya merasa kehilangan harapan sampai mati rasa tapi harus bertahan. Karena apa? Karena saya mikir saya punya suami dan anak. Mereka penyelamat saya dari kehilangan harapan untuk sembuh.

Cape berobat sana sini tapi gak ada hasilnya, ini nih yang bikin saya kehilangan harapan sampai akhirnya ya pasrah aja deh.

Tapi Alhamdulillah, setelah menjalani operasi yang menghabiskan waktu sampai 5 jam, pemulihan di rumah sakit sampai 2 Minggu dan dirumah terbaring gak bisa ngapa-ngapain selama 3 bulan … saya sembuh. Meski sekarang saya hidup dengan kehilangan kantung empedu dan dikasih kenang - kenangan tanda bekas jahitan vertikal dari pusat hingga dada. Pada akhirnya saya bisa melewati itu.
And again, ini karena saya tetap bertahan dalam mengalami kehilangan. 

Boleh Istirahat, berhenti sejenak lalu Bangkit 


Dari cerita yang berawal dengan kisah Bapak paruh baya, kematian Kang Eril dan fase kehilangan banyak hal yang saya alami dari hidup saya, kita bisa ditarik kesimpulan bahwa ini artikel random ya, hehe. Diajak serius di awal terus terkekeh kekeh di akhir.

Ini pertanda bahwa seserius-nya menanggapi sulitnya hidup dan menerima banyak kehilangan, selalu ada hal yang bisa kita syukuri dan tertawai.

Sesekali menengok masa lalu dan merasakan fase kehilangan untuk bersimpati dan empati terhadap sesama. Bukan hanya itu, juga sebagai pengingat betapa hebatnya diri mampu melewati semua rasa kehilangan itu lalu sekarang dengan bangga berdiri tegak dan hidup tanpa beban emosi.

Pada akhirnya, meski sempat kehilangan harapan bertubi - tubi sampai mati rasa saya tetap bertahan. Karena satu keyakinan, dunia ini emang cuman kayak gini aja. Emang tempat buat merasakan banyak kehilangan.

Kalau mampu bertahan dengan output yang positif dalam artian menjadi pribadi yang lebih kuat dan gak jadi musyrik, Allah pasti kasih balasan yang setimpal baik di sini sekarang atau di akhirat kelak.  Walau saya emang pernah ada di fase meragukan keberadaan Allah karena amarah dan kecewa. Tapi saya rasa itu hal  yang wajar. Alhamdulillah nya saya masih dikasih hidayah untuk bertaubat dan gak meragukan Allah SWT lagi. Malah bersyukur karena pernah ada di fase itu sehingga bisa merengkuh keimanan lebih dalam. 

Rasanya semua kehilangan yang saya alami gak sebanding dengan kemungkinan apa yang bakal saya peroleh di akhirat kelak. Pede amat ya? Wkwkwk. Boleh dong pede 🤭 biar semangat menjalani hidup yang lebih positif dan ibadahnya lebih di kencengin lagi. Sekarang itu hal yang saya yakini. 

Terdengar klise dan toxic positivity ya? hehe,  Memang iya sih. Ini kan ceritanya karena sudah melewati proses mengalami kehilangan. 

Untuk kamu yang sedang mengalami kehilangan. Boleh banget atuh istirahat dan berhenti sejenak. Boleh banget marah sama situasi dan mulai menyalahkan teman, ehhh, hehehe.  Luapkan emosi dan keluarkan emosi sampai ke dasarnya. Lakukan hal yang membuat nyaman dan bisa meredam sedih juga stress. Intinya gak apa-apa untuk marah dan menjauh, lalu diam and doing nothing! Tapi setelah itu bangkitlah kawan!! 

Caranya? ngalir aja sih. Kalau emosi negatifnya udah kelar dan kita udah lebih tenang, kita mulai bisa terbuka sama orang terdekat untuk curhat biar lebih plong. 

Saya sih kayak gitu, saya luapkan semua emosi sampai ke dasar. prosesnya bisa berminggu-minggu singkatnya bisa hanya sehari-dua hari. Tapi setelah itu dengan hentakan jari saya bisa langsung bangkit. Karena emosinya udah terkuras habis, yang tersisa adalah lelah dan capek. Kalau udah gini akhirnya saya bisa melihat rasa sedih sebagai penerimaan dan menjadi pijakan energi untuk bangkit. 

Satu hal lain yang saya pahami, 

Kehilangan juga tidak sepenuhnya merugikan kok. Kehilangan bisa menjadi bagian dari proses bertumbuh. Tumbuh menjadi apa? Tanaman rambat? Tentu! Tanaman rambat yang tumbuh lebat, menghasilkan daun hijau mengkilap dengan bunga yang indah seakan menyambut mentari pagi dan menghasilkan buah yang ranum. 

Kita juga seperti itu. Jika saya tidak merasakan kehilangan bertubi - tubi, saya tidak akan menjadi pribadi yang cukup kuat dan tangguh dalam menghadapi ujian demi ujian dan masalah yang akan menghadang esok hari. Saya akan menjadi pribadi yang cengeng dan dikit dikit ngeluh Luh lah dan gak bisa menikmati hidup seperti sekarang. 

Merasakan kehilangan, entah itu harapan atau orang terkasih hingga membuat mati rasa, bertahanlah. Meski kini merasa sesak dengan himpitan keuangan seperti Bapak paruh baya, bertahanlah. Kehilangan anak yang disayangi teramat sangat seperti Kang Ridwan Kamil, bertahanlah. Kehilangan jati diri, harapan hidup, masa depan, kasih sayang dan cinta seperti saya? yaaa bertahanlah!!
Yakinlah harapan itu akan selalu ada, yakinlah akan adanya bantuan dari Allah dengan caraNya yang ajaib yang kita gak bakalan nyangka. Meski proses yang dilaluinya pasti gak mudah, panjang dan terasa sakit. 

Bertahanlah dalam mengalami kehilangan, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga mereka yang selama ini peduli terhadapmu. Tumbuh dan berkembang melalui tahap kehilangan agar menjadi ibu, ayah, kakak, adik dan teman yang kuat dan tangguh untuk mereka yang kita sayangi. 
Sekian.
" Tulisan ini dibuat untuk Minggu tema HILANG komunitas 1m1c"
Eka FL
Momblogger Bandung | Digital Illustrator & Graphic Designer | Agriculture and Landscape Architecture Bachelor Degree

Related Posts

Posting Komentar