Menjadi Dewasa, Haruskah? telah menjadi pertanyaan yang ingin kujawab berbulan-bulan lamanya. Lantas apa jawabannya? tulisan ini jawabannya. Tulisan ini adalah sepenggal cerita perjalanan menemukan makna dibalik kata menjadi dewasa dan bijaksana yang diawali dengan curhat. Yess, like always.
Aku suka banget curhat sejak 20 tahun lalu dan reader curhatan aku waktu itu hanya satu orang. si sahabat yang setia baca tiap lembar curhatan di diary , sekarang pindah baca curhatnya di blog ( bukan yang ini tapi ada blog khusus yang baca cuman kami aja). Terus aku tanya, ada yang beda ga bahasa curhat aku dulu dengan sekarang.
Dia bilang,
"tetep menyenangkan padahal ceritanya kan cerita kamu lagi sedih, marah, kesel atau bingung. tapi pas dibaca ngalir aja, tau-tau udah beres aja bacanya padahal masih pengen baca. Bedanya sekarang terasa lebih wise tapi kurang lucu. Karena kalau dulu, pake bahasa vulgar dan konyol. “
Bicara Tentang Menjadi Dewasa
Bicara soal menjadi bijak, aku rasa ada kaitannya dengan menjadi dewasa. dewasa dalam artian apa nih? aku jadi bertanya - tanya. kalau terkait usia jelas lah udah usia dewasa dan dipenghujung kuartal 3 juga. gimana dengan pendewasaan cara berfikir, sikap dan semua yang berbau perkembangan psikologis?
Kadang aku suka males mikir berat begini, karena gak ribet. tapi somehow jadi suatu keharusna juga buatku karena masa iya hidup mau gini-gini aja?
Aku jadi berpikir haruskah menjadi dewasa?
Akhir-akhir ini aku sering ngerasa, seiring berjalannya waktu dan usia, lingkar pertemanan, buku yang dibaca dan film yang ditonton ditambah konflik dengan orang lain sedikit banyak mempengaruhi sudut pandang aku terhadap diri sendiri dan Orang - orang disekitarku dan juga situasi.
Mungkin sekarang curhatan aku feels more wiser than 20 years ago, but how about the truly i am? Betulkan udah wiser than before? ehhm, maybe.
Si sahabat mungkin menilai curhatanku terasa lebih bijak karena pemilihan diksi atau gimana cara aku menuturkan sudut pandang aku terhadap suatu permasalahan dan solusi yang aku berikan untuk diriku sendiri.
Terkadang yang aku rasakan bukan nilai kebijaksanaan, tetapi lebih kepada kepasrahan dan penerimaan. It feels like i have no choice, jadi daripada rudet ya aku milih jalan ninja buat Nerima aja pasrah sambil berusaha memahami kenapa kaya gini, kaya gitu terus baiknya kaya gimana.
Menjadi bijaksana itu aku rasa berproses ya, seumur hidup. Gak ada ujungnya mungkin. Sama halnya dengan proses menjadi dewasa secara psikologis.
And so, akhirnya pemikiranku bermuara pada satu pemahaman bahwa, menjadi Bijak dan dewasa buatku tujuannya agar hidup ku lebih happy. Baik dengan diri sendiri, keluarga kecilku, orang tuaku, orang disekitarku dan teman - temanku.
Memang menjadi dewasa bisa bikin happy ya? Iya sih buatku. Karena, biasanya pikiranku selalu ramai dan mood mudah terdistraksi oleh hal yang menyulut emosi. Kalau aku bisa mengendalikan emosi, aku rasa itu salah satu tanda menjadi dewasa dan jika aku bisa melewati batas ini, aku bisa menjadi bijak dan it's makes me feel happy. Mungkin bukan ke happy nya sih, tapi lebih ke perasaan tenang, damai dan rusuh.
Semacam challenge my self? Bukan sih. A ku berharap kalian ngerti ya arah pembicaraanku kemana. Kadang aku suka bingung menyederhanakan maksud menjadi satu kalimat sederhana, hehe.
Untuk menjadi happy ini lantas yang menjadi issue yang agak sensitif karena sifatnya yang temporary alias gak everlasting.
Menjadi Dewasa karena Ingin Bahagia
Klise emang kalau aku bilang menjadi bahagia adalah tujuan hidup. Semua orang juga kepengen bahagia. Tapi bahagia disini maksudnya apa? bahagia karena udah being rich, punya rumah sendiri meski nyicil tiap bulan? berikut punya mobil yang juga nyicil? anak - anak masuk sekolah bagus dan berprestasi? bisa ngasih duit lebih buat orangtua? bermanfaat buat society? or what?
Tergantung ya. Definisi bahagia bagi setiap orang beda indikator dan definisinya.
For example suamiku, yang bikin dia happy dinilai secara materi. Wajar, karena pemahaman dia soal bahagia emang sebatas itu dan hanya itu value yang penting buat dia sebagai seorang suami ( and maybe as a man ). Kalau dia bisa menghasilkan uang lebih, anak-anak dan istri terjamin secara finansial maka “beban” dan “ tanggung jawab” dia as a husband terpenuhi sudah. Hidup dia udah happy banget. Dan itu the way he show his love buat aku dan anak-anak. and that's fine buat aku.
Anehnya, meski dia patriarki dan dengan lantang mengatakan anti feminism tapi dia itu demokrat. Dia bebasin aku melakukan apapun yang aku suka dan bikin aku happy. Dia dukung aku ngeblog dan menekuni hobi menggambarku.
Soal urusan rumah tangga juga dia termasuk yang cuek. Gak suka dilayani, kalo pengen indomie masak sendiri, pengen masak yang enak ya masak sendiri, rumah berantakan kadang dia yang beresin terus yang amazing kalau aku cape banget dan ogah bere-beres rumah, dia gak pernah protes.
Terus, selama aku sakit lalu di operasi dan pasca operasi hingga masa pemulihan, percaya gak kalau aku bilang dia ( my husband ) dengan sukarela jadi bapak rumah tangga? ngurus anak - anak, mulai dari makan, mandi, sekolah dan main. Beres - beres rumah dan masak sendiri. Dia bener-bener jadi bapak rumah tangga.
I'm so amaze. Bagiku, meski dia patriarki dan anti feminism, dengan dia yang bersikap begitu sama aku secara gak langsung dia udah mempraktekan persepsi kesalingan cuman dia gak sadar aja karena gak tau ada persepsi dan keilmuan tentang itu kan. Kadang kita diskusi soal ini di saat santai atau pillow talk, tapi ujungnya gak pernah ada satu kesamaan pendapat. Tapi aku sih ketawa asyik aja aja, gpp beda pendapat tapi prakteknya dia udah kesalingan, hehe.
Nah, disinilah peran menjadi bijak melalui proses menjadi dewasa diperlukan. Kalau aku sama egoisnya dan kerasa kepalanya sama suami gak ada kedamaian deh kayanya. Tiap hari perang dingin dan aku nuntut hak lebih secara continue.
Tapi aku gak, karena aku mulai memahami perbedaan dan menerima dia yang emang jomplang banyak hal sama aku. Walau kadang ada aja suara sumbang yang bilang Kalo sangat berbeda apa yang kudu dipertahankan? marriage without persamaan garis lurus gak akan jalan loh, istilah sunda nya awet rajet! oh really? gak juga tuh.
Mengutip kata-katanya gitsav, life it's like a playground, and so aku menganggap marriage juga sama. Tempat aku bermain dan belajar. Somehow lewat pernikahan yang banyak perbedaan dan konflik batin ini aku malah bisa memecahkan issue inner child aku dan soal self acceptance loh. Dan sekarang aku belajar Lebih bijak dan menerima apa yang beda dengan aku, mencoba less expectation dan slow living.
Untuk bisa begitu tentu dibutuhkan proses menjadi dewasa kan? Nah, balik lagi ke definisi dewasa kan ya? muter aja kita disitu! wkwkwkwk.
Aku berfikir seperti ini bukan berarti mengkerdilkan kebahagiaan yang lain ya. Seperti mendampingi anak-anak bermain, belajar atau ngajak mereka jalan-jalan. Bahagia ketika ketemu sahabat dan teman lama. Bahagia ketika makan es krim, bakso atau makanan enak. Bahagia ketika ketemu idola dan hal - hal lainnya yang emang its really makes my day happier dan jadi moment berharga dalam hidup.
Yang aku maksud happy disini adalah, dasar atau pondasi hidup aku dalam menyikapi hidup. Dengan berikir seperti ini, ketika anak tantrum atau naburin bedak ke seantaro rumah atau bikin rumah berantakan padahal belum lima menit aku beresin, aku masih bisa tenang dan gak mudah emosian.Karena aku memahami kenapa anak bisa begitu dan begini.
Nah proses memahami nya ini menurutku, bagian dari belajar menjadi dewasa dengan cara memahami sudut pandang orang lain. Dalam hal ini, anak-anakku.
BTW, dalam rangka memahami hal ini deeply aku coba ask myself kaya gini, apa sih tolak ukur menjadi dewasa? value nya seperti apa? Apakah orang yang keep silent gak banyak ngomong, gak pernah curcol di sosmed mau itu facebook, twitter, instagram, status whatsapp apalagi blog maka disebut dewasa? gak pernah marah dan gak keliatan emosinya mudah tersulut itu juga disebut dewasa?
Kalau emang itu indikatornya, maka aku belum dewasa dong! karena aku masih suka curhat di blog, ngomel random di twitter, di instagram dan di status whatsapp. Apalagi kalo lagi down banget atau sedih pisan.
Oke, ayo kita gali root nya
Menurut teori Bapak Maslow,
Orang yang dewasa adalah orang yang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan mengenali potensi dalam dirinya dan telah menerima dirinya sendiri.
Buatku, ini so relate dengan apa yang aku bicarakan diatas. oke, teorinya belum cukup menghujam nih, aku tambahin lagi.
Kali ini aku kepengen mengutip apa kata wikipedia, meski ini bukan jawaban absolute dan valid karena we know lah wikipedia kan dictionary yang bisa disunting oleh siapapun. Tapi aku agak setuju dengan definisi dewasa ala wikipedia berikut ini,
Dewasa melambangkan segala organisme yang telah matang yang lazimnya merujuk pada manusia yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita.Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis dan memiliki karakteristik perilaku dewasa tetapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tetapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa.
jadi, dewasa gak ada kaitannya dengan usia ( atau gender ). Karena, proses bagi seseorang untuk bisa menerima diri sendiri, melihat dan memahami perbedaan, menerima saran dan kritik tanpa tersulit emosi adalah berbeda setiap orang. Bisa jadi memang di usia yang seharusnya matang secara usia, perkembangan psikologisnya juga matang. Tapi nyatanya tidak. Ada yang mungkin setelah usia menginjak 50 tahun baru bisa melihat dunia dari sudut pandang yang jauh berbeda, menjadi pribadi yang bijak dan dewasa secara psikologis.
Aku sendiri ternyata baru bisa self acceptance sekarang, ketika usia ku gak lama lagi masuk the 40's. Jadi, proses dewasa setiap orang emang beda-beda.
Sebagai tambahan, aku juga pengen mengutip teori dari Bapak Gordon Allport (1961) mengenai kriteria kedewasaan yang semuanya ada 6 poin , yaitu :
- Perluasan diri, berkembang di bidang pekerjaan/ kehidupan keluarga
- Kemampuan untuk menghubungkan diri sendiri secara hangat dengan orang lain dalam kontak intim (cinta) dan non intim (kasih sayang).
- Keamanan emosional atau penerimaan diri, yaitu dapat mengenali dan mengatasi emosi diri sendiri
- Persepsi, pemikiran, dan penilaian yang realistis, yaitu melihat dunia sebagaimana adanya dan tidak menghindari kenyataan.
- Wawasan dan humor, yaitu mengenal diri sendiri dan mampu menertawakan diri sendiri.
- Filosofi kehidupan, yaitu pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup.
Tambahin satu teori lagi deh biar tambah nampol, teori yang baru aja dikembangin oleh Hogan dan Roberts (2004) yang memperkenalkan model kematangan sosio analitik.
Teori Ini menyatakan, Betapa pentingnya membedakan antara bagaimana orang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya. Orang dewasa tidak selalu memusingkan perkataan orang lain yang selalu menuntutnya untuk sempurna. Orang dewasa mampu mengenali diri mereka sendiri, namun dapat melakukan introspeksi diri jika itu positif. Jika bagi orang lain ada hal yang salah, tentu orang dewasa berusaha memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan.
Dalam hal ini sih aku menyebutnya boundaries atau batasan ya. Aku membuat boundaries buat diri sendiri ketika dihadapkan pada suatu situasi yang gak nyaman, tidak sesuai expetasi atau ketika berurusan dengan pekerjaan.
Tujuannya sih sederhana, aku gak mau dibikin ribet sama mood dan emosi aku yang mudah rapuh. Karena, seperti teori diatas, aku yang paling tau diri sendiri maka aku yang paling tau boundaries seperi apa yang aku buat untuk diri sendiri. Bukan egois, tapi lebih kepada kebaikan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
So, kesimpulannya
Lagi - lagi aku mau bilang, it's so relate dengan apa yang aku maksud dengan tujuan menjadi dewasa buatku, agar hidup ku lebih happy dan untuk punya hidup happy versi aku maka aku harus berproses menjadi dewasa agar bisa lebih bijak. Sesederhana itu sih jawaban dari pertanyaan artikel ini, menjadi dewasa haruskah? hehehe
Tapi yang gak sederhana itu adalah, bagaimana mencari dan menjelajahi petualangan batin dan pemikiran sampai akhirnya bermuara menuju sebuat kesimpulan.
Menjadi dewasa buat aku, it's not an option but it's a must. Kalau buat kalian bisa jadi apa aja tergantung persepsi kalian tentunya.
Kenapa aku bilang ini harus buat aku sendiri? karena aku mikirnya kasian loh diri aku sendiri, udah terluka berapa lama karena kecewa, melakukan self defense dengan cara menekan perasaan pengen happy atau malah menarik diri dari dunia luar.
Aku gak bisa maksa orang untuk sama dengan apa yang aku mau atau pikirkan, satu visi misi atau sejalan. Atau pendapat nya sama dengan aku. Aku sebaiknya belajar tarik nafas dan hembuskan ketika ada kritikan atau pendapat yang nyela atau bersebrangan bahkan kontradiktif denganku. Dan ini gak mudah. Bukan pada menekan ego, tapi menundukan ego,
Karena, hampir seumur hidup aku playing victim keadaanku. Baik karena orangtuaku bercerai, ibuku yang toxic atau ayahku yang cuek dan society yang gak peduli sama aku.
Sebagai self defense, aku bikin benteng pertahanan diri dengan jadi orang yang egois teramat sangat, keras kepala, gak mau kalah dan gak mau ngerti orang lain. Bodo amat sama orang lain, aku mengedepankan diri sendiri, aku cinta diriku sendiri. Dan ternyata, pemahaman self love seperti ini, malah membunuhku perlahan dengan terus memendam emosi yang gak enak seperti kecewa, marah, sakit hati dan dendam.
Akhirnya aku paham kalau marah, kecewa, benci dan sakit hati bukan perasaan jahat dan negatif kok. Itu bagian dari emosi yang menjadikan aku manusia seutuhnya. Melalui perasaan yang gak enak itu aku belajar menerima diri sendiri dan melihat diri sendiri, oh jadi aku tuh kaya gini ya. oke gpp.
Mau marah, kecewa dan sakit hati atau benci ya gak apa-apa. aku Keluarin aja dan rasakan sampai titik darah penghabisan. Setelah emosinya habis keluar, biasanya aku bisa lebih menerima dan memaafkan baik itu orang lain terlebih diri sendiri.
Cuman cara aku ngeluarin emosi gak enak itu kadang emang rada lebay sih. untuk yang satu ini aku akui aku masih kekanak-kanakan, hehehe. Kadang masih suka khilaf bikin status lebay di IGS atau ngomel - ngomel di twitter! wkwkwk . Bukan soal pencitraan sih, tapi suka inget aja udahnya jadi tengsin, idih ngapain ya gue bikin status begitu ….malu gue!!! hahahaha
So, am i happy with my life today? yess i am. am i wiser? i'm trying to be. and i hope you too. And so, gimana menurut kalian terkait pertanyaanku Menjadi Dewasa, Haruskah? share yuk di kolom komentar :)
With love,
artjoka
Note: Sumber teori aku ambil di kampuspsikologi dotcom
Aku suka di twitter soalnya tetangga nggak ada. Eh ada deng cuma 1 😄 tapi yaudahlah gpp. Soalnya kalau di tempat lain suka sensi. Padahal bukan buat dia eh malah kzl olangnya 🤣🤣
BalasHapusEh kok jadi ksitu2.
Bahagia tiap orang beda2 ya, yaudah jgn rusuh. Iyaa dewasa bener2 harus dan bukan pilihan.. ideeem
Salam kenaaal ya mbaa 1m1c
Halo kak, iyaaa definisinya tergantung gimana versi kita. Poin nya pasti beda
HapusSalam kenal Kak Ekaa. Seneng banget baca tulisannya, ngalir gituu. Aku kayak lagi diajak ngobrol, terus dipaksa mikir sama tulisannya haha. Aku banyak belajar dari tulisan ini, makasih atas sharingnya yaa ^^
BalasHapusSalam kenal kak, makasih udah berkunjung kesini. Semoga ada sedikit inspirasi dari tulisn ini yaa
HapusSukaaa dengan bahasannyaaa mba 👍😊. Kadang aku sendiri juga bertanya2 kok, aku udah dewasa belum sih? Dari segi pemikiran maksudnya. Kdg kalo berantem Ama suami, dia sering ngomong, 'kamu mikirnya dewasa dong'... Jadi suka kepikiran, apa selama ini aku terlalu egois yaaa...
BalasHapusDefinisi dewasa sendiri buatku, bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Ga ada yg namanya lari dari kesalahan. Tapi mungkin dewasa itu pengertiannya memang luas sih yaaa .. ga bisa dipukul rata sama semuanya ..
Sama mba, sampe skr pun aku msh berusaha untuk bisa bersikap dewasa. Tapi rasanya normal sih, kalo sesekali kita yg mengaku dewasa ini, terkadang bersikap childish 😄. Biar ga bosen mba 😅.
Halo kak Fanny,
HapusEh aku malah jadi keingetan loh sama komen kakak, iya salah satu indikator dewasa adalah bertanggung jawab. Sama diri sendiri juga sama orang lain apalagi.
Yaahh orang dewasa secara umur juga kadang masih aja pengen kaya anak kecil ya, hehe.
Aku rasa lebih baik pertanyaannya kuganti, "Haruskah kita tetap jadi kekanak-kanakan?"
BalasHapusKarena bersikap matur, tidak sesuai usia psikologisnya, dan bersikap tidak serasi dengan lingkungan sekitarnya, itu tidak enak.
Halo mba Vicky,
HapusGood point' mba. Aku malah gak kepikiran begitu. Sebetulnya ini semacam reflexi diri aja sih mba, karena seperti yang aku bilang di artikel, dewasa disini tidak terbatas pada usia. I means, emang usia mature baik tengah maupun tua secara attitude maupun menyikapi sesuatu gak childish. Tapi poin aku sih lebih ke proses menjadi dewasa secara psikologis. Dan prosesnya tiap orang bisa beda. Seperti aku bilang, baru sekarang sekarang akhirnya aku bisa menerima diri dan segala macamnya.
Tapi aku kurang paham sih maksud bersikap tidak serasi dengan lingkungan, enak nih kalau lanjut diskusi mba. Hehehe. Makasih atas komen nya ya mba. It really open my mind ☺️
Senang Eka bisa curhat di blog, namun, demi kebahagiaan bersama, tentunya curhat di blog pun bisa dikurangi. Well, semua berproses untuk capai kebahagiaan. Selamat mencari kebahagiaan!
BalasHapusterimakasih Bu ina atas masukannya,
Hapussaya mulai jarang sih curhat di blog ini, apalagi yang detil atau menyalahi privasi sendiri menuru versi saya. apa yang saya curhatkan terkait perbedaan saya dan suami sudah melalui proses sensor dengan suami dan tidak masalah. sejak awal saya ngeblok suami setuju karena ini media self healing saya dan dia ke oke aja selama itu baik bagi saya.
terimakasih masukannya, tapi saya akan tetap curhat kok hehehe. karena saya merasa itu baik untuk saya dan bagi mereka yan mungkin mengalami hal yang sama dengan saya, pergulatan batin yang sama.
btw, blog yang isinya curhat untuk sahabat saya, bukan blog yang ini bu ina, tapi ada blog yang baca hanya saya dan dia, hehehe.
selamat mencari kebahagiaan juga bu ina :)
memang kadang seiring pertambahan usia, belum tentu kedewasaan itu muncul ya mbak
BalasHapusmemang menjadi dewasa itu butuh proses
Kalo menurut saya menjadi dewasa itu pilihan. Walopun nyatanya setiap orang masih punya sisi kanak-kanak masing-masing.
BalasHapusOrang dewasa adalah orang yang gak lupa makan dan tidur
BalasHapushahaha.....kutipan dari drama Korea Dali and the Cocky Prince
dan setuju, orang dewasa adalah orang yang bertanggungjawab pada hidupnya, pada tubuhnya
ya ampun, udah tamat ya drakornya. kocak banget, kuat banget karakternya si cocky prince si jin mo hak. bodor eh lucu, hehehe. Makasih banyak kak, yess indeed aku setuju nih orang dewasa juga artinya orang yangertanggung jawab pada hidupnya dan tubuhnya. something yang aku lupa pikirin ketika nulis artikel ini. padahal, its means everything juga ya. hak tubuh untuk sehat dan istirahat, hak jiwa dan pikiran. uwooowww....thank you so much. aku bikin hasil semedi yang kedua nanti, hihihi
HapusKalau aku sih suka menjadi dewasa, tapi tetap ingin menjadi anak kecil, karena mereka selalu happy aza
BalasHapusSetiap orang akan berproses ..dan semua ada masanya..nanti ada masa dimana kita memandang segala sesuatu tidak menjadi hal yang utama lagi karena ada yang lebih sangat utama..contoh ada orang yg tidak pernah tampak menuis status apapun di medsos pribadinya ..bukan karena dia depresi atau insecure hanya saja masa itu sudah lewat dan sudah selesai untuk dirinya..jadi nikmati saja prosesnya hehehe
BalasHapusSaya jadi terinspirasi bikin blog khusus buat curhat deh mba. Kayaknya seru, emang klo pas lagi emosi tuh pengennya mencurahkan semua perasaan.
BalasHapusKarena nggak punya temen curhat, kadang aku juga kelepasan bikin status di whatsapp, dan habis itu dihapus tapi kan tetep aja udah ada yg baca. Huhu
Keren nih, kontemplasi bisa sepanjang ini untuk evaluasi diri. Saya malah yang ada mikirin apa yang perlu dikerjain di depan mata. Sampai nggak sempet mikir kontemplasi seperti ini 🤭
BalasHapusMenjadi dewasa haruskah? Tanyalah pada diri sendiri setiap hari tanpa menemukan jawabannya. Suatu saat kamu akan menemukannya, bahwa menjadi dewasa adalah pilihan bukan suatu keharusan, nanti bakalan mengikuti pribadi yang wise mengalir dengan sendirinya tanpa dibuat-buat "menjadi dewasa"
BalasHapusDan ku setuju pisan kalo dewasa itu bisa mengaktualisasikan dirinya dengan mengenali potensi dalam dirinya dan menerima dirinya sendiri seapa-adanya. Hihiii, begitulah ya kupelajari dari kelas2 modaliti diri.
Yuk, memilih menjadi dewasa!!
Wow good teh eka, enak banget nih bacanya :) jadi mengingatkan diri sendiri, apakah aku sudah cukup dewasa di usiaku saat ini, masih selalu bertanya-tanya juga, hehe
BalasHapusAku setuju dengan kalimat ini mba "bagaimana mencari dan menjelajahi petualangan batin dan pemikiran sampai akhirnya bermuara menuju sebuat kesimpula"
BalasHapusKarena aku sendiri mengalami hal ini, ternyata tidak mudah. Apalagi kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia. Saat ayahku ga ada aja, diusia masih muda, aku seperti dituntut menjadi lebih dewasa dann bijak sebagai seorang anak pertama.
Kadang aku merasa diriku menjadi dewasa lebih cepat dibandingkan usiaku kalau itu. Tapi itu juga membuat aku lebih mudah menerima keadaan
BalasHapusMenurut daku tiap orang ada sisi dewasanya ada juga sisi kekanak-kanakannya, tinggal bagaimana menempatkannya dengan bijak ya
BalasHapus"Akhirnya aku paham kalau marah, kecewa, benci dan sakit hati bukan perasaan jahat dan negatif kok. Itu bagian dari emosi yang menjadikan aku manusia seutuhnya"
BalasHapusAku sukaaaa banget bagian ini Ka. Kayak aku diminta mengampuni diri sendiri setelah marah, dan sakit hati. Memaafkan dan menerima mereka yang sudah melukai. Thank you sharingnya, artikel ini juga ngajak aku dan pembaca lain kembali berdiskusi dengan diri sendiri tentang makna dewasa tentu versi kami masing-masing.